Rabu, 18 Juli 2012

Renungan Tingkatan Puasa

Puasa dan Ketenteraman Masyarakat
12-February-2009
Buletin No. 237

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS al-baqarah [2]: 183).

Puasa, secara etimologi (pengertian kebahasaan) berasal dari kata “shâma-yashûmu-shauman/shiyâman” yang artinya adalah “menahan, mengekang atau mengendalikan”. Kata menahan atau mengekang disini berarti “al-imsâk ‘anil mufthirât” yakni menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa seperti makan, minum, melakukan hubungan suami isteri di siang hari dan lain sebagainya.

Secara terminologi (pengertian secara istilah), puasa menurut ulama fikih adalah menahan diri untuk tidak makan dan minum serta melakukan hubungan seksual bagi yang berkeluarga sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Sementara para ulama tasawuf mendefinisikan puasa tidak hanya bersifat lahirian semata, tapi juga batiniah. Menurut ulama tasawuf, puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, tapi juga menahan seluruh anggota tubuh, bahkan hati dan pikiran, untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat mendorong pelakunya ke dalam lembah dosa.

Tingkatan Puasa
Ulama tasawuf membagi puasa ke dalam tiga tingkatan. Pertama, puasa umum (awam), yakni menahan diri dari makan dan minum, dan seks untuk periode tertentu, yakni sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Pada puasa tingkat ini, penekanan puasa pada pengendalian hal-hal yang berkenaan dengan perut dan syahwat (nafsu biologis). Inilah puasa orang awam.
Kedua, puasa khusus. Dalam kitab Ihyâ Ulûm ad-Dîn, Imam al-Ghazali menyatakan bahwa puasa khusus ialah mengekang pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa. Karena itu, puasa khusus adalah puasa mata, telinga, lisan, tangan,kaki, dan seluruh anggota badan, dari penglihatan, pendengaran, prekataan, gerakan yang tidak diridhai Allah. Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa seorang yang berpuasa sesungguhnya telah berbuka apabila ia berkata dusta, ber-ghibah (menggunjing), mengadu domba, bersumpah palsu, dan memandang dengan syahwat.
Ketiga, puasa khususul khusus (puasa sangat khusus), yakni puasanya hati dan pikiran. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa puasa khususul khusus adalah puasanya hati dari segala cita-cita yang hina dan segala pikiran duniawi yang bisa menghalangi dari ingat kepada Allah.
Pada tingkatan ini, seluruh pikiran ditujukan untuk Allah semata. Dunia tidak dipikirkan, kecuali demi kepentingan syiar Islam. Pendek kata, puasa khususul khusus adalah puasa hati dari keinginan rendah, memikirkan duniawi dan tercegahnya dari selain Allah Swt secara universal.
Dalam sebuah ayat dinyatakan bahwa tujuan dari ibadah puasa adalah agar kita menjadi orang yang bertakwa. Firman Allah Swt, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS al-baqarah [2]: 183).
Menjadi orang yang bertakwa dengan melakoni ibadah puasa tidak akan terwujud jika puasa kita hanya sebatas menahan diri dari lapar, haus, dan syahwat, tanpa diiringi dengan mengendalikan seluruh anggota tubuh, baik tangan, mata, lisan, pendengaran, penciuman, dan lain sebagainya dari hal-hal yang dilarang atau dibenci Allah.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda, “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga,” (HR. Nasa’i & Ibnu Majah). Hadits ini memberi peringatan bahwa orang yang berpuasa, tapi tidak menahan diri dari perbuatan munkar, tidak akan mendapat pahala dari ibadah puasa, apalagi memperoleh kedudukan sebagai orang yang bertakwa. Karena itu, dalam berpuasa hendaknya tidak hanya menahan diri dari makan dan minuman, tapi juga seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang tidak diridhai Allah agar menjadi orang yang bertakwa.

Puasa Mengendalikan Amarah
Meskipun tujuan utama dari puasa adalah untuk menjadi (to become) orang yang bertakwa (bersifat vertikal), namun puasa bisa memberikan pengaruh yang siginifikan dalam kehidupan sosial, terutama dalam membangun masyarakat ketenteraman masyarakat dengan minimalisasi konflik.
Dalam teori konflik (conflict theory) disebutkan bahwa konflik di masyarakat timbul jika ada ketimpangan. Ketimpangan berarti adanya kondisi ketidakseimbangan atau berat sebelah (non balance) yang dapat mengakibatkan kegoncangan atau gejolak sosial. Menurut para sosiolog, ketimpangan inilah yang merupakan sumber dari segala macam konflik.
Ketimpangan dalam masyarakat adalah hal yang alami, misalnya ada miskin dan kaya. Meskipun ketimpangan ini ada pada setiap komunitas, namun bukan berarti potensi konflik tersebut tidak dapat dihilangkan atau paling tidak dapat diminimalisir. Pendekatan agama bisa dipakai sebagai upaya untuk meminimalisasi atau menghilangkan potensi konflik di masyarakat. Di antara sekian perintah agama yang dapat menghilangkan potensi konflik di masyarakat adalah puasa.

Puasa tidak sekedar mengendalikan diri dari makan dan minum serta berhubungan seksual, akan tetapi lebih jauh dari itu adalah bagaimana kita dapat mengendalikan diri kita dari emosi dan perbuatan negatif seperti marah, berkata buruk, berdusta, dengki, iri hati, menggunjing, mencari-cari kesalahan orang lain.
Bentuk-bentuk emosi dan perbuatan negatif ini rentan menimbulkan berbagai konflik di tengah manusia. Namun, secara garis besar, potensi konflik di tengah masyarakat disebabkan ketidakmampuan dalam mengendalikan amarah. Entah itu disebabkan oleh perbedaan pandangan, etnis, status sosial dan ekonomi, pendidikan, politik dan lain sebagainya.

Selain itu, perbedaan di atas juga berpotensi menimbulkan rasa benci antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Padahal semua perbedaan ini adalah sunnatullah yang tidak akan hilang meskipun kita membenci kelompok lain. Allah Swt berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal,” (QS al-Hujurat [49]: 13).

Kebencian atau rasa marah yang timbul akibat perbedaan bisa menimbulkan konflik harizontal jika dua kelompok yang berbeda, seperti agama dan etnis, tidak bisa menahan dan mengendalikan amarah serta membuang rasa benci. Jika konflik terjadi, maka yang dirugikan adalah masyarakat yang bersangkutan, baik materi maupun immateri.
Dengan berpuasa umat Islam dididik untuk mampu menahan atau mengendalikan rasa marah dan menghindari perbuatan lainnya yang menyakiti orang lain.
Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan amalan kebohongan, maka tidak ada bagi Allah hajat ( untuk menerima ) dalam hal ia meninggalkan makan dan minumnya,” (HR Jama’ah kecuali Muslim).

Dari penjelasan di atas dapatlah dipahami, jika umat Islam bisa melaksanakan ibadah puasa dengan sempurna, tidak hanya meninggalkan makan dan minum, tapi juga perbuatan dan perkataan yang tidak layak, semua ini adalah landasan utama dalam menciptakan masyarakat yang sepi dari konflik.
Jika pengendalian amarah dan menghindarkan diri dari segala perbuatan dan ucapan yang merugikan atau menyakiti orang lain dilaksanakan tidak hanya di bulan Ramadhan saja, tapi terus berlanjut pada bulan-bulan selanjutnya, maka akan tercipta tatanan masyarakat yang aman dan tenteram sehingga baldatun thayyibatun warabbun ghafur (masyarakat adil dan makmur di bawah ampunan Allah Swt) bias tercapai. Wallahu a’lamu bis shawab.

Sumber : http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A5225_0_3_0_M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar